Monday, November 24, 2008

INVASI BUDAYA ITU BERNAMA MODERNISME

Gelombang modernisasi yang di hembuskan negara–negara maju, khususnya Amerika Serikat (Barat-sekuler), selalu menimbulkan permasalahan baru terhadap negara Dunia Ketiga. Negara-negara di Amerika Latin misalnya, setelah Perang Dunia II, perekonomian negara-negara ini kacau. Sehingga kemudian negara-negara itu mencanangkan modernisasi dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme sebagai model modernisasi. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Kaum proletar dan kelas buruh tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membumbung, ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator. Pada tahun 1945, misalnya, kelompok militer di Brazilia menggulingkan pemerintahan sipil. Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa tunggal Argentina, setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika Latin.

Demikianlah fakta yang terjadi, modernisasi di satu sisi telah menjadikan peradaban Amerika (barat-sekuler) maju dengan begitu pesatnya, akan tetapi di sisi lain modernisasi telah melahirkan berbagai penderitaan yang sangat serius bahkan belum pernah dialami oleh manusia sebelumnya. Keadaan ini, meminjam istilah Prof. Nugroho Notosusanto (1982) pada pidato Dies Natalisnya di Unversitas Indonesia, disebut sebagai Agony of modernization (azab sengsara karena modernisasi).

Semakin meningkatnya angka kriminalitas yang disertai dengan tindak kekerasan, perkosaan, pembunuhan, judi, penyalahgunaan narkotik, minuman keras, kenakalan remaja, bunuh diri, sampai gejala–gejala psikosis dan neurosis merupakan indikasi dari adanya the agony of modernization ini. Ditambah lagi dengan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat yang semakin hari semakin menganga. Kemiskinan seolah tidak mau “ketinggalan”, dia telah menjadi persoalan serius di era modern ini. Pada tahun 1999, data kemiskinan yang tercatat diseluruh dunia sebanyak 1,214 miliar orang. 78% anak-anak balita kekurangan gizi, 11.000 anak perhari mati kelaparan, 200 juta anak perhari menderita kekurangan gizi, protein dan kalori. Lebih dari 800 juta anak kelaparan dan 70% diantara mereka adalah wanita dan anak-anak, Moral pun sedang berada pada titik nadir. perilaku homoseks yang sudah dikecam manusia sejak ratusan tahun, saat ini mulai dilegalkan. Penderita penyakit AIDS, sebagai akibat dari adanya hubungan seks bebas, pemakaian jarum suntik narkoba dan berbagai bentuk kemaksiayan lainnya, tidak menunjukan tanda-tanda penurunan. Alih – alih diperingati setiap tahun, penderita AIDS malah terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 saja data terbaru PBB menyebutkan sudah sekitar 40 juta manusia didunia terjangkit penyakit AIDS. Dan lebih dari 20 juta orang hingga kini telah tewas akibat penyakit yang menyerang system kekebalan tubuh ini. Diperkirakan bahwa sekitar 5,2 juta orang penderita AIDS adalah anak-anak dan setiap harinya 14.000 orang terinveksi virus HIV. Sedemikian “hebatkah” modernisasi mengakibatkan agony of modernization pada masyarakat dunia saat ini?. Jika demikian halnya, seberapa besar peranannya, apa akar masalahnya, serta bagaimana solusinya? Itulah pertanyaan yang insya Alloh akan diuraikan secara sederhana dalam tulisan ini.



Modernisasi merupakan suatu usaha untuk menyebarkan modernisme. Modernisme yang dalam bahasa Arab sepadan dengan kata Al-‘Ashraniyyah merupakan kata bentukan dari bahasa Inggris (modernism). Dengan demikian, Untuk memahami modernisasi tampaknya akan sangat bijak kita merujuk kepada kata asalnya yaitu bahasa Inggris. Kata “modern” sering dinisbatkan pada segala sesuatu–meliputi cara, informasi, konsep, gaya, dan lain lain–yang ada pada masa kekinian, up to date, dan tidak kuno. Adapun secara historis “modern” merupakan sebutan bagi periode setelah abad pertengahan. Sedangkan term “modernisme” setidaknya memiliki dua dimensi, diantaranya dimensi keagamaan (katolik) dan dimensi sosio-politis. Dalam dimensi keagamaan (katolik), “modernisme” dipandang sebagai suatu doktrin yang mengkombinasikan tradisi katolik dengan beberapa filsafat modern tertentu, terutama sebuah doktrin dimana agama (kepercayaan) dipandang hanya memilki makna simbolik. Adapun dimensi sosio-politis, modernisme dipahami sebagai term yang diaplikasikan pada hampir semua gerakan liberal, yang berlawanan dengan penafsiran bibel yang ortodox. Dengan demikian modernisme dapat dipahami sebagai sebuah paham yang menantang dominasi dogmatis yang absolut dalam hal cara, informasi, konsep, gaya, dan sebagainya serta mengalihkannya pada dominasi nilai-nilai provan yang liberal.


Di Balik Serbuan Modernisme


Sebagai sebuah negara ideologis (ideologi kapitalis), barat–sekuler memiliki metode untuk menyebarkan pemikiran–pemikirannya yang terpancar dari asas (akidah) ideologinya itu. Pada saat Islam sebagai sebuah ideologi yang teraktualisasi dalam sebuah negara menyebarkan pemikiran-pemikirannya dengan dakwah dan jihad, maka, barat-sekuler menyebarkan pemikiran-pemikirannya itu dengan metode imperialisme (al-isti’mar). pada wilayah inilah modernisasi–sebagai suatu upaya menyebarkan modernisme–bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk penjajahan kebudayaan (al-isti’mar ats-tsaqafy / cultural invasion).


Dengan term Modernisme inilah barat-sekuler melakukan suatu perubahan social (social engineering) menuju the new world order. Dengan cara berusaha mengubah masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Tentu yang menjadi “jalan pelicinnya” adalah modernisme. Permasalahannya adalah, Barat-sekuler beranggapan bahwa tipe masyarakat modern itu merupakan tipe masyarakat barat yang sekuler itu. Sedangkan masyarakat tradisional adalah masyarakat yang masih “terhegemoni” oleh nilai-nilai agama yang bersifat transenden dan dogmatis. Dengan kata lain, proses modernisasi itu tiada lain adalah proses sekularisasi. Dengan demikian dapat dipahami di sini bahwa term modernisme lebih pada suatu nilai yang hegemonik dari pada suatu fakta sosial yang harus dikagumi. Sebagai mana yang disadari sendiri oleh Barbara Von Schlegell ketika mengomentari serangan yang menghancurkan WTC beberapa tahun silam, Beliau mengatakan: “Permasalahannya adalah bahwa modernisasi itu rupa-rupanya datang sebagai bungkus globalisasi, dalam arti Amerikanisasi dan invasi pandangan hidup barat.

Jadi modernisasi itu terlihat sebagai sebuah invasi budaya ” Jelasnya, modernisme merupakan term yang dipaksakan oleh negara adikuasa terhadap dunia ketiga–yang pada umumnya negeri-negeri muslim–untuk menerima pemikiran-pemikiran yang semuanya berlandaskan kepada ide pemisahan agama dari kehidupan (baca: sekularisme) yang secara diametral memilki perbedaan dengan aqidah islam. Tujuannya tiada lain adalah tetapnya barat-sekuler pada puncak piramida peradaban yang saat ini menghegemoni dunia. Hal ini wajar, sebab proses imitasi terhadap pola pikir dan budaya kekuatan dominan akan memuluskan program hegemoni pada semua bidang diantaranya dalam bidang bisnis dan ekonomi. Disinilah letak pentingnya modernisme terhadap globalisasi, yang mana seperti yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal Anjum dalam sebuah tulisannya pernah mengungkapkan “bagaimanapun dimensi ekonomi telah memainkan peranan yang utama dalam proses globalisasi” (however, the economic dimension has been playing a central role in the process of globalization).


Permasalahannya adalah, seperti yang diungkapkan oleh Revrisond Baswir dalam suatu tulisannya, beliau menyatakan bahwa “globalisasi tidak bisa dilepaskan dari neoliberalisme yang nota bene merupakan ekspansi kepentingan para pemodal negara-negara kaya (para kapitalis)”. Maka hal yang wajar kalau Mahatir Muhammad di akhir kuliah umum di hotel Shangrilla, Jakarta pernah menyatakan bahwa “globalisasi merupakan suatu bentuk penjajahan baru, karena akan menjadikan negara kaya semakin kaya dan negara miskin semakin miskin”. sebagaimana hal ini terungkap dari laporan UNDP tahun 1999, 20% orang terkaya dari penduduk dunia mengkonsumsi 86% barang dan jasa dunia. Sebaliknya, 20% penduduk termiskin hanya mendapatkan 1% lebih sedikit barang dan jasa dunia.


Globalisasi merupakan sebuah upaya yang sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, terutama upaya pengerdilan peran negara dan memperbesar peran pasar, hal ini akan memudahkan pengintegrasian negara-negara miskin tersebut kedalam hegemoni para pemodal negara-negara kaya. Sehingga, privatisasi atau swastanisasi kebutuhan rakyat merupakan suatu hal yang niscaya. Ketika keadaannya seperti itu, sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “al-imamu ra’in wa huwa masuulun ‘an ra’iyatihi” Tidak berlaku lagi di sini, sebab peran negara bukan lagi sebagai “penguasa” yang melindungi hak-hak rakyat akan tetapi, negara sudah menjadi “pengusaha” yang memperhitungkan untung-rugi dalam pengelolaan rakyatnya bahkan mengalihkan fungsi perlindungannya terhadap kepentingan para pemodal negara-negara kaya.

No comments: